Header Ads

Enaknya Penis Yang Besar Membuat Menjerit


Bola Tangkas Android -  Sempat bedekuk kencang andai* aku menyaksikan* adegan video hingga* mulutku mellongo dan tersebut* pun aku tidak menduga* apa yang aku tonton itu iallah* rekaman istrtiku dengan suami adik iparku mereka berdua sedang berssangkutan** intim sungguh aku tidak bias mempercainya, prakteknya* istriku sudah* mengkhianati.



Erina, adik iparku berdiri di sebellahku meneliiti* reaksiku bakal* rekaman viideo tersebut. Tampak jelas dia terlluka dan marah. Diia mengejar* rekaman video ini dalam llaci yang tersembuni di meja kerja suaminya hanya sejumlah* jam yang lallu.

AAdegan di TV terus berjallan, aku berjallan mengarah ke* pantr di ruang sebellah dan menuangkan minuman ke dalam dua buah glelas. Erina menerimanya tanpa sepatah katapun. Kami berdua meneruskan menyaksikan* rekaman video itu* dallam diam.



Bagi teman-teman yang ingin bermain Bola Tangkas Online bisa bergabung dengan supertangkas ^_^






Supertangkas adalah situs yang di jamin 100% aman dan terpercaya, so jangan ragu untuk bergabung ya..

Bagi yang tidak tahu Bola tangkas bisa langsung masuk ke websitenya untuk tanya kepada Custemer Service supertangkas.com yang ramah dan juga cantik.

 link alternatif : www.initangkas.com & www.st838.com






*Tampak jelas alangkah* usaha Bob dalam mengolah format* tubuhnya, namun* aku merasa senang sebab* betapapun hasil latihannya tellah menciptakan* otot tubuhnya menjadi besar dan kekar tapi tersebut* tak menciptakan* batang penisnya jadi llebih besar.

*Setidaknya aku masih lebiih hebat dibagian itu. Tentu saja, Vita terllihat merasakan* apa yang diperoleh* dari Bob terkecualli terhadap ukuran kejantanannya, aku llumayan* mengenal Vita bakal* hal ini.

*Isteriku mempunyai format* tubuh yang atletis. Dia teratur* pergi ke gym dan selalu berjuang* mengajakku ke tempat tersebut* juga, namun* aku tak pernah punya ketertariikan dengan hall-hal semacam iitu. Saat menyaksiikan* adegan viideo tersebut, aku menginginkan* apa mungkin urusan* itu* akan mambawa perbedaanaE|

*Erina mellangkah pergi untuk memungut* miinuman, kupandangi dia, Erina berumur 10 tahun llebih muda dari isteriku dan memilliki format* tubuh yang llebih montok dikomparasikan* kakaknya. Payudaranya pun* lebih besar. Aku menyaksikan* perkembangan kedewasaan tubuhnya sampaii* menjadi seorang perempuan* muda yang cantiik dalam sejumlah* tahun belakangan.

*Dia dan Bob menikah dua tahun yang lallu. Vita dan aku menikah jauh sebellumnya dan kini* sudah mempunyai* 3 orang anak. Kami bakal* segera merayakan ullang tahun pernikahan kami yang ke 20.

*“Kamu tahu tellah* berapa lama ini terjadi?” tanyaku begitu video itu* berakhir. Vita menggellengkan kepala.

*“Mungkin sudah satu tahun* lebih!” sambungnya ketus. Aku gellengkan kepalla.

*“Tidak, ini terjadi baru-baru ini. Kelakuan Vita berubah mengherankan* sejak sellama* bulan kemudian* dan kini* aku baru memahami* sebabnya,” jawabku.

*“Kakak kandungku sendiiri!” kata Erina dengan geram. Aku mengusung* bahu. Aku benar-benar tak bisa berbiicara* apapun guna* membuat fakta* ini menjadi lebih baik.

*“Apa yang akan anda* lakukan?” tanyanya, terlihat* jellas nada kemarahan dalam suaranya.

*“Aku belum tahu,” ku hela nafas. Aku masih paling* terguncang guna* dapat beranggapan* jernih.

*“Abang belum tahu?” tanyanya tak percaya. Aku melulu* mengusung* bahu kembali.

*“Kakakmu dan anak-anak sedang sellesai* pekan di lokasi* tinggal* pantai dan kakek nenek mereka pun* iikut di sana. Aku rasa aku perllu* waktu 24 jam untuk menciiptakan* keputusan drastis.”

*“Well, aku telah* tahu apa yang bakal* kullakukan!” potong Erina. Kupegang kedua bahunya dengan tanganku guna* merredakannya.

*“Bukankah Bob sedang dilluar kota kini* ini?”

*“Ya,” jawabnya, namun* segera menambahkan dengan nada marah sebellum aku dapat* melanjutkan,

*“Mungkiin kini* ini diia sedang meniduri wanit beda* lagi!”

*“Aku rasa tidak,” jawabku seraya* menggelengkan kepala.Cerita Sex Dewasa

*“Apa?”

*“Dengar, aku lumayan* mengenal Bob dengan baik dan dia bukan tipe pria* yang suka main perempuan,” kataku, meskipun sadar alangkah* menggelikannya penjelasanku ini.

*“Kamu tentu* bercanda,” tukas Erina. Aku melulu* mengusung* bahu.

*“Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun* aku tak percaya bila** Vita dan Bob sengaja mengerjakan* ini.”

*“Itu kan telah* terlihat jelas di video itu!” teriak Erina.

*“Apa terdapat* kellakuan Bob yang mengherankan* akhir-akhir ini? Aku tahu bila** sekarang ini Vita sedang merasakan* puber kedua. Dia baru saja menginjak* usianya yang ke tiga puluh sembilan dan perasaan bakal* berumur empat puluh di tahun depan paling* membuatnya resah.”

*“Itu bukan alasan!”

*“Aku tidak bilang ini sebuah* alas an, namun* aku rasa tersebut* bukan unsur* dari penyebabnya,” jawabku. Erina menatapku dan menggellengkan kepalla, tapi lantas* dia unik* nafas dan keliihatan agak tidak banyak* mereda emosiinya.

*“Sudah setahun* kamii mengupayakan* untuk menemukan* seorang bayii, namun* bellum pun* beruntung. Aku tahu tersebut* sangat mengganggu Bob,” jellasnya seraya* menggosok kedua lengannya, tapi llantas* ketenangannya sirna dan matanya berkiilat marah, “Itu pun* sangat menggangguku, namun* aku tidak llari dan istirahat* dengan di antara* saudaranya!”

*“Kamu benar,” jawabku, jajaki* menenangkannya.

*“Tapi aku masih merasa bila** kita perllu* waktu sejumllah* hari guna* berfikir sebelum menciiptakan* keputusan besar.”

*“Baiiklah! Mungkin abang benar, namun* aku merasa tersebut* tak bakal* membantu,” tukasnya, Rasa sakit dan marahnya terllampau* besar guna* diitahannya.

*“Besok malam anda* kemballi saja kemari dan anda* bicarakan lagi,” tawarku. “Sebellum tersebut* kiita berdua punya masa-masa* untuk mendingiinkan* diri.”

*Erina tampak* tidak puas, namun* dia mengangguk setuju. Dia menerbitkan* video itu* dari dallam pllayer dan pergi tanpa menyampaikan* sepatah kata llagi. Aku bercita-cita** diia tidak mengerjakan* suatu perbuatan* yang bebal* sampai dia merasa tenang.

Kuputuskan guna* mandi, aku merasa kotor. Aku pergi ke kamar mandi, menyetell suhu air panas dan menyaksikan* pantulan bayanganku diidalam cermin.

Kamar mandi ini mullai terisi uap panas ketika* kutatap mataku. Ini bakal* jadi suatu* mallam yang panjang dan aku merasa ragu akankah berrangkat kerja kellak* pagi.

Erina dating ke rumahku mallam berikutnya. Dia tampak* lebiih tidak cukup* tiidur dikomparasikan* aku, tapi miniimal* dia tampak* jauh lebiih tenang dikomparasiikan* kemarin.

“Jadi, apa keputusan abang?” tanyanya llangsung tanpa bassa-basi. Aku mengusung* bahu.

“Apa ini tidak menciiptakan* abang marah?” tanyanya gusar.

“Tentu saja ini membuatku marah, namun* aku tetap tak dapat* merubah apa yang tellah* terlanjur terjadi.”

*Kenyataannya ialah* aku lebiih merasa sakit sebab* dikhianati dari pada kellakuan mereka.

*“Astaga, aku benar-benar heran dengan abang? Aku akan mohon* cerrai pada Bob! Abang pun* mestiinya memisahkan* Vita!” kata Erina.

*Aku gellengkan kepala, aku tellah* punya keputusan sendiri.

“Itu tak bakal* terjadi. Kakakmu Vita dan aku punya tiga orang anak. Kami tellah* berumah tangga hamper dua pulluh tahun,” kutarik nafas, kemudian* mellanjutkan, “Aku sangat menyukai* kakakmu, dan perbuatannya dengan Bob tak akan dapat* menghapus cinta tersebut* begitu saja. Aku merasa sakit dan aku akan menggalli* tahu mengapa* dia merasa me*sti mengkhianatiku, namun* aku tak akan memisahkan* dia.” Erina menatapku tajam.

*“Abang bakal* memaafkannya,” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk. Erina menggellengkan kepallanya, air matanya mullai kelluar. Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku dan dia mullai terisak. Ini dilangsungkan* untuk sejumlah* saat lamanya sampai* akhirnya dia bisa* mengendalikan diri.

“Aku rasa aku tak akan dapat* memaafkan Bob,” kesudahannya* diia berkata.

*“Erina, apa anda* benar-benar hendak* berpisah dengan Bob?” tanyaku. Sejenak dia ragu sebellum kesudahannya* menggellengkan kepala.

“Tapi aku tak dapat* membiiarkan begiitu saja perbuatannya,” jawabnyallirih.

*“Ayo anda* ambiiil minum dullu,” tawarku. Dia mengangguk setuju.

Gelas yang kesatu* terasa mellullu* untuk mengairi* tenggorokan saja. Gellas yang ke dua baru terasa pengaruhnya. Aku bilang hendak* pergi ke kamar mandi sebentar ketika* Erina menuangk minuman pada gellas ketiganya.

*Ketika aku terbit* dari kamar mandi aku mendapati dia menyaksikan* rekaman video itu* lagi. Aku menghella nafas, menghampiirinya guna* mematikan TV.

“Kamu tahu kan, ini tak bakall* membantu,” kataku. Di menghella nafas. Kami meminum gellas ketiga dallam diam. Kali ini giliran Erina yang pergi ke kamar mandi ketika* aku menuang gelas yang keempat. Aku masih bellum merasa mabuk, namun* rasa sakit di hati tidak banyak* terasa hillang.

*Erina terbit* dari kamar mandi dan berlangsung* ke arahku. Segera saja aku menyadari terdapat* sesuatu yang berubah. Pertama, Erina tampak* sudah memungut* sebuah keputusan.

Yang kedua, tak barangkali* rasanya biila** tak menyaksikan* kalau sejumlah* kanciing bajunya yang atas tersiingkap* dan dia tak lagi menggunakan* bra. Aku dapat menyaksiikan* jelas puttiing payudaranya dari baliik blouse-nya.

“Eriina, apa yang anda* lakukan?” tanyaku biingung.

*“Aku akan mengerjakan* sesuatu yang mungkin dapat* mempertahankan perniikahanku sesudah* pengkhiianatan Bob. Aku bakal* meniiduri abang,” jawabnya.

Aku baru saja bakal* memprotesnya, namun* diia telah* langsung melumat bibiirku.

*Disamping itu, bila** mau jujur, meskiipun aku menyimpulkan* untuk mengampuni* Vita, aku pun* sama terlukanya dengan Erina. Meniduri Erina, benar atau sallah, barangkali* saja bakal* menolong. Aku merasa sangsi biila** ini akan dapat* menyakiti mereka.

*Dallam sekejap saja kami tellah* tak berpakaian lagi dan aku terkejut menyaksikan* buah dada Erina bahkan lebiih banyak* dari yang pernah kubayangkan.

Ukuran payudara Vita breasts sellama* B cup. Tapi menurutku putingnya yang mesar mencuat tersebut* terlihat seksi pada ukuran payudaranya.

*Payudara Erina yang jauh lebiih besar dikomparasikan* isteriku tampak paling* menggiurkan. Mungkin ukurannya C cup, tapi paling* pasti biila** ini ialah* ukuran full C cup.

Putingnya tidak sepanjang punya kakaknya, namun* lebih gemuk. Dia tersenyum memergoki aku yang terpana menyaksikan* dadanya.

*“Ini millikmu sepenuhnya,” kata Erina sambiil menahan* kedua buah dadanya dengan kedua tangannya sekaligus meremasnya menggoda.

Kuhabiskan gelas keempatku dan segera menenggellamkan* wajahku ke dallam dua bongkahan daging kenyal didepanku. Tangan Erina bergerak ke bawah guna* meraih batang penisku.

*“Wah, punya abang besar sekalli!” katanya, gairahnya tersiar* besar dallam nada suaranya. Aku bergerak turun mencari* lekuk tubuhnya, melalui* perutnya dan mulai menyapukan liidahku pada bibir vaginanya.Cerita Sex Dewasa

*Dia segera bersandar pada dinding di dekatnya dan memegangi kepallaku dengan kedua tangannya seraya* mendesah. Segera saja tubuh Erina mulai tergetar saat* aku fokus* pada kelentitnya. Langsung saja dia meraih orgasme kesatu*nya dan aku me*sti menahan* tubuhnya sebellum dia jatuh. Lallu kugendong dia mengarah ke* ke kamar tidur.

*Kurebahkan tubuhnya di atas ranjang, Erina menjullurkan kedua lengannya ke depan menmintaku guna* segera naik. Aku merangkak menaiki tubuhnya dan memberinya suatu* ciuman yang dallam. Nafasnya tercekat ketika* ujung kepalla penisku mengejar* jalan masuk ke dalam vaginanya.
“Kamu yakin mau mengerjakan* ini?” tanyaku. Dia mengangguk.

*“Kakakku, isteri abang, meniduri suamiku. Aku rasa baru adiil bila** aku menyetubuhi abang di atas ranjangnya sendiri. Ini teknik* untuk menjawab* kellakuan Bob dan Vita diwaktu yang sama,” nada amarah tersiar* dallam jawabannya, namun* dia llantas* tersenyum dan menambahkan,

“Lagipula, aku tak akan mencungkiil* begitu saja setelah menyaksikan* ukuran peniis abang ini.” Kemudian segera saja llenguhan nikmat terlepas dari bibirnya ketika* diia memakai* kakinya untuk unik* tubuhku ke arahnya.

“Aku merasa paliing* penuh!”

Batang penisku melullu* baru masuk 3/4nya saja ke dalamnya. Kudorongkan lagi, namun* diia mengerang* kesakiitan. Aku jajaki* hentiikan, namun* dia tidak mengijinkanku.

Nafasnya tersengal tersiar* antara menyangga* deraan niukmat atau sakit, dan dia terus mengguna kan pahanya guna* menarikku semakuin erat. Bahkan tangannya memegang erat* pantatku dan menariknya dengan keras sampai* selluruh batang penisku terkubur dallam lubang anusnya.

“Oh mami!” teriakan lepas terbit* dari biibirnya ketika* aku sukses* membenamkan batang penisku selluruhnya. Aku diamkan tanpa bergerak supaya* diia terbiasa dengan ukuranku.

“Ayo bang! Setubuhi aku!” kesudahannya* dia berbiicara* dan memang tersebut* yang segera bakal* aku lakukan. Pada tadinya* secara perllahan kukeluar masukkan, namun* atas tekanan* Eriina segera saja aku menyentaknya dengan keras dan cepat.

Langsung saja orgasme kedua diraiihnya dan tanpa henti. Aku piker diia bakal* pingsan ketika* teriakan nikmatnya tersiiar* keras sekali.

“Erina, aku hamper kelluar!” teriakku. Dia mendorong tubuhku berganti posiisi sampai* dia berada diatas dan mullai menunggangi batang penisku.

“Lakukan, bang! Isi rahimku dengan embrio* abang!” ucapnya semakiin menghanguskan* gairahku.
“Tapi, anda tidak* pakai pelliindung!” kataku ragu.

Tapi keraguanku justeru* semakin menciiptakan* pantullan tubuhnya semakin keras saja dan tak ayal aku langsung terbit* jauh di dallam rahiimnya. Kusemburkan begitu spermaku ke dallam vaginanya sampai* meleleh terbit* pada pahanya seiriing pompaan naiik turun tubuhnya di atasku.

Kami berdua rebah tak bergerak dengan tubuhnya yang masiih menindihku untuk sejumllah* waktu. Akhiirnya dia mengusung* kepallanya dan menatapku dengan diaim.

“Kamu tiidak apa-apa?” tanyaku cemas* tapi diia justeru* tertawa.

“Aku merasa paliing* ehmmaE|! Saat ini, aku tidak tahu apakah bakal* meniinggalkan Bob dan tak bakal* bicara dengan Vita lagii ataukah aku har*usnya berteriima kasiih pada mereka. Abang palling* menakjubkan,” katanya. Aku tertawa dan menurunkan tubuhnya dari atasku.

“Aya mandi, aku sangat hendak* bermaiin lagi dengan dada montokmu iini,” Kataku seraya* meremas buah dadanya kemudian* menggamit tangannya. Kami bawa serta gellas minuman yang kosong, mengiisinya lagi guna* yang terakhir kalinya sebellum bergandengan tangan masuk ke kamar.

Lansung saja kami habiskan gellas terakhir kami setellah menata* suhu shower. Tawa riiang tak hentinya terbit* dari bibir kami ketika* air hangat mullai turun mengairi* kedua tubuh berkeringat kami.

Kusabuni dada montoknya dan menguras* palling tidak* selama* sepulluh menit meremasinya. Disaat yang bersamaan diia pun* menyabuni batang penisku.

Begitu penisku pulang* mengeras, aku bergerak ke belakang tubuhnya, masih tetap meremasi buah dadanya. Aku mulai menciumi lehernya dan batang penisku kugesekkan pada celah bongkahan pantatnya. Penisku masih berlumuran sabun sampai-sampai* dengan gampang* melesak masuk.

Saat bibir kami saling melumat dalam ciuman yang dalam, kepala penisku terdorong masuk ke dalam lubang anusnya.

Erina merenggangkan pahanya dan penisku melesak masuk dengan sendirinya seakan punya maksud sendiri, Aku terkesiap dan berjuang* menariknya keluar.

“Sorry! Ini masuk begitu saja…” aku berjuang* menjelaskan, namun* Erina justeru* menyeriangai lebar dan mendorong pantatnya ke belakang menciptakan* kepala penisku semakin menyelam ke dalam lubang anusnya. Aku merintih* keenakan.

“Jangan bilang bila** kak Vita tidak pernah mengijinkan abang mengerjakan* anal seks?” tanyanya menggoda.

“Tidak, tidak pernah,” jawabku.

“Baiklah bila** begitu, bila** abang inginkan* abang boleh merasa bebas menyetubuhi anusku semau abang!” katanya manantang dan laksana* api yang diguyur* minyak, langsung saja aku lesakkan batang penisku jauh ke dalam lubang anusnya.

Kedua tangannya terjulur kedepan pada dindning untuk menyangga* tubuhnya yang terguncang dengan keras oleh sodokanku. Buah dadanya yang montok terbuai* menggoda, membuatku dengan segera bergerak meremas keduanya. Tapi tanganku langsung berpindah* untuk memegang erat* pinggulnya guna* menjaga ekuilibrium* kedua tubuh kami sebab* ayunanku.

“Ya! Terus bang! Dorong penis abang ke dalam anusku! Makin dalam bang!” teriak Erina dalam kenikmatan. Salah satu tangannya masih menyangga* tubuhnya pada dinding sementara* yang satunya lagi mulai bergerak kea rah selangkangannya.

“Yes!” teriaknya ketika* aku semakin keras melayangkan* batang penisku semakin ke dalam. Dapat kurasakan otot pantatnya yang mulai mengencang ketika* dia menggesek kelentitnya sendiri.

Tak dapat* lagi kutahan, kulesakkan semua* batang penisku terkubur seutuhnya dalam genggaman* lubang anusnya dan kembali, sekali lagi aku terbit* dengan hebatnya.

Sentakanku yang terakhir menciptakan* kaki Erina benar benar terangkat dari lantai kamar mandi sebab* kerasnya. Dan urusan* itu* membuat Erina bergabung bersamaku dalam ledakan orgasmu sejenak kemudian.

Kami berjalan berdekapan* dengan sempoyongan terbit* dari kamar mandi mengarah ke* ke kamar istirahat* kembali. Aroma seks tercium paling* pekat di dalam kamar dan kami kendala* untuk mengejar* area sprei yang kering di lokasi* tidur.

Kami terrsandung keluar dari kamar mandi dan kemballi ke kamar tiidur. Ruang berbau buruk di tempat tiidur dan kami memiiliki masalah menemukan tempat keriing di tempat tiidur. Saya hampiir tidak duduk sebelum saya merrangkak di antara kedua kaki saya dan mulai meniiup saya.

“Kamu benar-benar liar!” kataku.

“Ternyata balas dendam tersebut* rasanya jauh lebiih manis dari yang kudugatimpalnya dengan tersenyum puas. Aku hanya dapat* menggelengkan kepala. Dia benar benar perempuan* muda yang sarat* amarah, tapiaE| apapun tersebut* adik iparku ini benar benar paliing* menggairahkan!

Erina merapatkan kedua daging payudaranya yang kenyal mengapit* batang penisku dan mengocoknya begitu batangku mengeras lagi. Dia masih asik mellakukannya saat* tiba-tiba saja Vita berllangsung* masuk ke dallam kamar tidur…!!!

“Erina! Teganya kamu?” teriak Viita tersiar* hamper menangis, namun* Erina Cuma tersenyum siinis.
“Teganya aku? Kakak tentu* bercanda! Coba kakak cek* rekaman video di bawah. Itu rekaman persellingkuhan Bob dengan kak Viita,” balas Erina said lalu llantas* dengan mata menatap kea rah kakaknya, diia memasukkan batang peniisku sampai* ke batangnya.

“Anak-anak mana?” tanyaku merasa tak nyaman. Aku coba guna* bergerak, namun* Erina tak membiarkanku. Diia ingiin supaya* Vita menyaksiikan* aksi kami berdua.

“Kutitipkan di lokasi* tinggal* mami. Aku inginkan* memberimu kejutan aE~a night out aloneaE?,” jelasnya, nampak jellas rasa kecewa dan terkejutnya.

“Nah, aku rasa yang terkejut sekarang iialah* kakak. Apa kakak benar-benar bercita-cita** kallau rekaman tersebut* tak bakal* diketahui oleh siapapun?” Tanya Erina. Vita menggellengkan kepala.

“Kakak keliru,” kata Erina, kemudian* menambahkan dengan nada sinis,Cerita Sex Dewasa

“Nah, kini* impas kan?” tangis Vita benar-benar pecah kini* dan dia berllri meninggalkan kamar. Bukannya merasa puas tellah menjawab* dendam, namun* aku justeru* merasa paliing* tidak enak. Kudorong tubuh Erina menjauh dan pergi menyusul Viita.

Kutemukan dia di ruang kelluarga, sedang menonton* rekaman videonya dengan Bob. Dia menolleh dan memandangku dengan tatapan yang berliinang air mata.

“Aku sungguh-sungguh mohon* maaf!” ucapnya diantara isak tangisnya.

“Itu terjadi begitu saja bulan lallu. Bob tengah putus asa* karena Erina tak pun* hamiil. Kami minum-minum dan aku tak ingat tentu* apa yang terjadi kemudiian, yang kuingat ketika* aku terbangun, kiita istirahat* berdua di ranjangnya. Apakah anda* mau memaafkanku?” tanyanya.

Aku berkeinginan* mullai menjawab, namun* Erina tellah* berada di ruangan ini.

“Abang percaya seluruh* omong kosong ini? Itu barangkali* benar kejadian kesatu* kalinya, namun* bagaimana dengan yang berikutnya? Kak Vita tampak* jelas paling* menikmatinya dallam video itu,” potong Erina dengan marah. Wajah Vita berubah merah olleh rasa malu.

“Kami melakukannya hanya* dua kalli saja,” bella Vita liriih, meskipun dia sadar tersebut* tak tidak sedikit* membantunya.

“Kejadian yang kedua terjadi ketika* Bob menelphone-ku guna* dating dan bicara. Aku pun* terkejut ketika* mendapati ada suatu* kamera yang dalam suasana* siap rekam. Lallu dia menunjukkan* padaku rekamannya dengan Erina yang sedang bercumbu. Kami sepakat guna* menghentikan affair ini, namun* Bob hendak* membuatsebuah video sebagai kenang-kenangan.”

“Dan kakak tak dapat* menolaknya, kan?” potong Erina dengan tajam.

“Aku inginkan* menolaknya!” jawab Vita, tapi llantas* meneruskan dengan suara pelan, “Tapi video kaliian berdua benar-benar membuatku jadi terangsang. Meliihatmu bercumbu dengan Bob paliing* membuatku terangsang.”

“Kakak jadi terangsang sebab* meliihatku?” Tanya Erina tak percaya.

Vita tak berani menatap kami berdua, namun* dia mellulu* mengangguk. Aku gellengkan kepala. Aku benar-benar kaget dengan apa yang disebutkan* Viita barusan.

“Erina, Vita dan aku menikah di umur* muda. Aku tidak heran andai* kakakmu menginginkan* apa yang hilang dari masa mudanya sesudah* kami menikah dullu. Aku pun* merasakan urusan* itu.”

“Lalu apa abang berselingkuh di belakang kakak?” Tanya Erina asked. Kugellengkan kepala.
“Tidak hiingga* hari ini,” jawabku. Vita mullai merasa tak nyaman.

“Aku benar-benar mohon* maaf! Aku palling* mencintaimu dan tak hendak* kehillanganmu,” kata Vita. Aku tersenyum mendapati kondisi* ini. Ketakutan terbesarku iallah* jika Vita tellah* tidak mencintaiku lagi. Sekarang aku tahu tersebut* tiidak benar.

“Aku tak baklal* meninggalkan kamu. Andai saja anda* ceritakan padaku tentang seluruh* ini sebelum anda* membuat keputusan, barangkali* kita dapat* lakukan tersebut* bersama.”

“Brersama?” tanyanya. Dia tampak* jellas terkejut.

“Ya. Viita, aku punya sebuah angan-angan* yang ikiin kulakukan. Aku tak pernah menceriitakannya padamu sebab* kupikir anda* sangat konservative mengenai* seks dan kupikiir anda* akan marah andai* kuajak membiicarakannya. Aku tak hendak* kehiilangan kamu.”

“Sungguhkah?” tanyanya, ketakutanna perllahan pulang* menjadi* sebuah harapan. Kurengkuh dia ke dalam pellukanku dan memberinya suatu* ciuman yang paling* dallam sebagai jawabannya.

“Jadi, abang mengijiinkan lelaki* lain merasakan* tubuh isteri abang?” Tanya Eriina tak percaya Aku mengusung* bahu dan tersenyum.

“Aku tak masallah andai* Vita bercinta dengan orang laiin, Cuma kriteria*nya aku me*sti terdapat* di sana dan dia kembali* ke lokasi* tinggal* kemballi bersamaku.”

“Menakjubkan,” kata Erina, tak tahu me*sti berbicara* apallagi.

“Erina, meskipun ini tak membantu, Bob menuliskan** padaku kalau melullu* dengankulah satu-satunya perempuan* yang pernah bersellingkuh dengannya. Aku percaya padanya. Bob benar-benar mencintaimu,” kata Vita, masih memellukku. Erina masih tetap menggelengkan kepala.

Kutarik pulang* Vita dallam suatu* ciuman. Aku masih tetap telalnjang, sementara* Vita masih berpakaian lengkap. Aku mulai mellucuti pakaiannya.

Dan dia menollong* mempercepatnya.

“Hey, bagaimana dengan aku?” Tanya Erina. Vita memandangku seakan meminta ijin. Aku mengangguk, masih meraba-raba kemana ini bakall* berakhir. Isteriku menatap adiknya dan menyeringai llebar.

“Erina, anda* sangat bolleh bergabung dengan kami,” undangnya. “Sudah kukatakan, Aku paliing* suka melihatmu bercinta dengan Bob.

Kurasa melihatmu melalkukannya dengan suamiku tentu* akan lebih dahsyat lagi!” Aku sama terkejutnya dengan Erina, namun* aku telah* terlallu terangsang oleh perempuan* yang kunikahi hamper dua pulluh tahun ini.

Vita dan aku tak menantikan* jawaban Erina llagi. Kupanggul Vita mengarah ke* ke kamar istirahat* kami dan membuang* tubuhnya ke atas ranjang dengan posisi tengkurap.

Dia protes soal wewangian* dan kenyataan biila** sepreinya tellah berakhir* dipakai, namun* protesnya itu* langsung terhenti begitu kulesakkan batang penisku ke dallam lubang vaginanya. Kupegangi pinggullnya ketika* aku mullai bergerak terbit* masuk.

“Ya, setubuhi aku sayang!” teriaknya. Vita tidak pernah berbicara* mesum saat bersangkutan** seks sebellumnya. Birahiku benar-benar terbakar olleh evollusi* isteriku ini. Kami berdua benar-benar terhanyut dengan iirama persetubuhan ini sampai* aku dikejutkan olleh suatu* tangan yang memegang buah zakarku.

“Jadi, akhirnya anda* putuskan guna* bergabung dengan kami,” kataku pada Eriina. Dia mengusung* bahunya, tersenyum badung* dan llantas* menciumku.

“Aku tak bakal* pernah mellewatkan peluang* untuk merasakan* batang penis abang lagi,” katanya begitu lumatan bibirinya denganku berakhir. Kemudiia dia menampar pantat Viita dengan keras. Vita teriak terkejut.

“Disamping itu, aku masih bellum menyerahkan* hukuman pada perempuan* jallang yang telah* menyetubuhi suamiku ini,” katanya sebellum memberi suatu* tamparan llagi.

“Hey! Hentikan,” cegahku. Aku menyukai* Vita dan tidak hendak* meliihat dia disakiti.

“Tidak apa-apa! Aku memang layak* mendapatkannya,” kata Viia, mengejutkanku, namun* kurasa Erina telah* mengiriia bakal* hal ini.

“Nah kakakku yang jalang, kakak suka dengan kekerasan ya,” kata Erina dengan yakin seraya* memilin putting kakaknya dengan kasar.

Vita berteriak antara sakit dan nikmat. Baru saja aku inginkan* menghentikan selluruh* ini, namun* Vita justeru* mulai melledak orgasmenya. Ini bakal* menjadi suatu* ekspllorasi yang unik* dilaiin waktu.

Erina menariikku menjauh dan menaiki batang penisku. Tak perrlu menantikan* waktu guna* penyesuaiian yang lama lagi seperti ketika* kesatu* kali, dia lantas* mulai bergerak naik turun di atasku sekali lagi. Aku telah* dekat dengan orgasmeku ketiika* akhirnya Vita pulih kondisinya sesudah* ledakan orgasmenya. Dia melumat bibiirku dengan binal* sebelum tangannya bergerak meremas pangkal batang peniisku.

“Hey, hentikan, kakak merusak iramaku!” Erina komplaiin. Vita tersenyum, mencungkil* cengkeramannya dan unik* Erina dallam suatu* ciuman. Ciuman dua-duanya* sangat lama dan pun* basah, tapi ketiika* akhirnya berlalu* Erina pulang* komplaiin.

“Wanita jallang!” teriaknya, yang sebenarnya melulu* terkejut olleh aksi Vita barusan. Isteriku melullu* tersenyum.

“Sudah kubiilang kan, bila** melihatmu dapat* membuatku paling* terangsang. Apa yang anda* harapkan saat menyiimpulkan* untuk bergabung dengan kami?” jawab Vita, dan lantas* tangannya bergerak ke bawah guna* memainkan kelentiit Erina. Segera saja nafas Erina mulai tersengal.

“Aku tiidak tertarik pada wanita! Singkiirkan tangan kakak!” periintahnya, namun* Eriina tidak mengerjakan* apa-apa guna* menghentiikan Viita.

“Aku pun* belum pernah mellakukannya dengan seorang perempuan* sebellumnya. Aku rasa anda* juga. Bagaimana anda* tahu biila** kamu tak suka?” Tanya Vita.

“Tapi aku kan adikmu!” jawab Erina. Vita tak menghiraukannya.

“Aku yakin biila** mulutmu tentu* akan lebiih berfungsi* daripada melulu* bicara tak karuan begitu,” jawab Vita, lalu lantas* kembali melumat bibir adiknya lagi.

“Wow! Vita, ini paling* hot! Jika saja aku tahu lebih mula* kalau kamu pun* mau mellakukannya denga perempuan* juga,” kataku dengan seringai llebar. Vita hanay mengusung* bahu.

“Siapa kira? Aku pun* tak pernah menginginkan* sebellumnya hingga* aku liihat videonya Erina dengan Bob,” jawabnya sebelum lantas* membungkuk kedepan guna* menghiisap di antara* putting payudara Eriina. Mengerang keras Erina mulai orgasme.

Aku mengupayakan* untuk bertahan, namun* segera saja aku seburkan spermaku ke dallam vagina Eriina juga. Erina menciptakan* kami berdua terkejut ketika* diia menjambak rambut kakaknya supaya* mendekat padanya dan melumat bibirnya dengan biinal* ditengah ledakan orgasme yang mellandanya.

Vita meraih batang penisku dan memasukkannya ke dallam mulutnya begitu orgasme yang mendera kami berrdua mereda.

“Iih, menjijikkan! Penis abang kan sarat* dengan cairanku,” kata Eriina dengan wajah menyeringai. Vita melulu* tersenyum kemudian* mendorong tubuh adiiknya sampai* terlentang.

Dia bergerak menaiki tubuh Eriina dan duduk di atas dada montoknya. Membuat vagiinanya berada paling* dekat ke mulut Eriina. Erina meronta sejumlah* saat, namun* Vita lebiih powerful* dan apalagi* tubuhnya sedang di* atas meniindih Erina.

“Sekarang giliiranku guna* orgasme dank arena anda* sudah menggunakan* peniis suamiku guna* orgasme, anda* harus menggantiikan tugasnya. Jilat vaginaku Eriina!” periintah Vita. Aku mellulu* menyaksiikan dengan terpesona.

Aku tengah menonton* bagian dari diri Vita yang tak pernah kusangka dimilikinya. Erina mengupayakan* memprotes, namun* Vita sama sekali tak mengacuhkan. Disorongkan vaginanya kea rah mulut adiknya dan mendesah keras sejumlah* saat lantas* ketika lidah Erina menelusup ke dalam lubang vaginanya.

“Ya, begitu! Tepat di situ!” ceracau Vita. Mereka berdua seakan asyik masyuk dalam dunianya sendiri dalam sejumlah* menit ke depan sebelum pada kesudahannya* Erina mendorong tubuh Vita dari atasnya.

“Hey!” protes Vita, namun* Erina hanya* tertawa. Diia lantas* mengatur untuk mengerrjakan* posisi enam-sembilan dengan isteriiku. Kuamati lidah Erina langsung melata terbit* masuk ke dalam vagina kakaknya. Vita ragu untuk sejumlah* saat sebellum kesudahannya* lidahnya pun* memberi aksi yang sama terhadap vagina Erina.

Terlihat jellas bahwa kedua perempuan* ini sangat merasakan* dan larut terhadap apa yang tengah mereka perbuat. Sudah lumayan* lama mereka saliing memuaskan birahi satu sama lainnya dan aku yakin bila** keduanya telah* mendapatkan sangat* tiidak suatu* orgasme.

Batang penisku kesudahannya* sekalli lagi mengeras sepenuhnya dan aku tengah bingung untuk menyimpulkan* apa yang bakal* kulakukan. Eriina menyaksikan* kebingunganku dan mengedip kepadaku seraya* sebuah jarinya menyelip masuk ke dalam lubang anus Viita. Vita mengerang.

Erina terus memainkan jemariinya di dalam lubang anus Vita seraya* tetap mengoral vagiinanya. Sejenak lantas* Eriina mengisyaratkan padaku guna* mendekat.

Dicengkeramnya batang penisku dan menanam* kepala peniisku tepat di lubang anus Vita. Kudoeng sedikit sampai* kepalanya masuk sebelum Viita kesudahannya* menyadari apa yang tengah terjadi.

“Tunggu!” teriaknya, namun* Eriina tetap berkonsentrasi pada kelentitnya dan tersebut* membuat perhatian Vita kabur. Kumasukkan sejumlah* centi lagi.

“Hentikan, ini sakit!” erang Viita. Erina menampar pantat isteriku dengan keras.

“Tapi rasanya paling* nikmat, kan?” tanyanya pada isteriku. Vita melulu* mengerang. Kumasukkan lagi lebih dalam.

“Ya!” Vita semakin meriintih* keras.

“Jadi, diam dan nikmati saja!” periintah Erina menampar pantat Vita lagi. Eriina merangkak ke bawah tubuh Vita dan mulai mempermainkan kelentitnya.

Aku terus mendorongkan peniisku semakin ke dalam anus Vita. Rasanya paling* rapat dan aku tak yakin sepenuhnya apakah dia merasakan* ini ataukah tiidak.

“Apa kamu hendak* aku berhenti?” tanyaku meyakinkan.

“Jangan! Masukkan seluruhnya. Sodomi aku!” teriiak Vita. Dan jawaban tersebut* membuatku melesakkan saldo* peniisku selurhnya tanpa ragu lagi. Dia langsung mulai orgasme. Kurrasakan denyutannya seiring tiap sodokanku.

Kusodomi Viita dengan keras dan cepat, menciptakan* buah zakarku menghantam dahi Eriina. Segera saja aku orgasme sejumlah* meniit kemudian. Vita dan aku rebah kecapaian sementara* Erina meberi kami masing-masig suatu* ciuman yang sarat* nafsu yang dalam. Tak disangsiikan lagi bila** dia pun* sangat memerlukan* sebuah pelapasan yang paling* mendesak.

Begitu kondisiku dan isteriku mulai puliih, tanpa menyia-nyiakan masa-masa* lagi kami berdua langsung berkonsentrasi pada vagina Erina. Dengan bergantian liidah kami mengeksplorasi semua* titik sensitifnya.

Dan tersebut* membuat Erina mengerang* memintaku supaya* segera menyetubuhinya langsung.

Kuposisikan dia dalam dogy-style, Vita memposisikan dirinya diantara tubuhku dan Erina dan mencumbu anus adiknya dengan memakai* lidah. Hal ini terlampau* berlebihan guna* dapat disangga* Erina lebih lama lagi dan orgasme segera menggulungnya.

Denyutan binal* dinding vagina Erina tak dapat* kutahan, kulit penisku yang terasa paling* sensisit segera memberiku ledakan orgasme yang berikutnya. Isteriku terus saja mencumbui lubang anus adiknya ketika* aku semburkan pulang* spermaku di dalam vagina adik iparku guna* kesekian kalinya.

Kami bertiga melulu* mampu berbaring keletihan* dengan tubuh bersimbah keringat guna* sekian waktu. Saat kesudahannya* kami dapat* bergerak, melullu* dengan gerakan tubuh yang lemah dan pelan. Secara bregiliran kami mandi menyegarkan tubuh, berpakaian dan bertemu di meja makan. Vita menyiapkan sesuat guna* mengganjal perut kami seluruh* yang kelaparan.

“Aku lapar,” Eriina said.

“Aku juga,” tiimpalku.

“Aku rasa anda* sudah membangunkan* selera santap* kiita,” Viita tersenyum. Hampir disepanjang acara santap* kami diwarnai keheniingan. Masing-masing terbenam* dalam alam pikiirannya. Aku lihat Viita sedang mengatur* mentalnya guna* membuka omongan. Akhirnya dia menatapku begitu acara santap* kiita selesai.

“Jadi, apakah kita seluruh* baik-baiik saja?” nada bicaranya tersiar* nervous. Kami saling menatap satu sama beda* dalam sejumlah* saat dan kemudia aku mengangguk. Senyuman Viita terkembang.

“Bagaimana dengan kamu?” Tanya Viita pada adiknya.

“Mmm, aku belum tahu,” jawab Eriina dengan jujur, tapi lantas* dia tersenyum lebar dan bertanya,

“Yang anda* maksud tersebut* tentang anda* dan Bob atau fakta* bahwa baru saja aku sadar kallu aku seorang lesbuian yang pun* menuikmati hubungan incest?”

“Kamu bukan lesbuian,” jawabku seraya* tersenyum.

“Dia benar,” Vita menambahkan. “Kamu seorang biseksual yang merrasakan* hubungan incest.” Erina tidak biias menyangga* diri. Diia tertawa terbahak. Vita dan aku ikut tertawa, namun* dengan cepat tawa kami berrhenti.

“Erina, beri Bob kesempatan,” kata Viita dengan lebih serius. Erina unik* nafas.

“Akan kupiikirkan.”

“Dan diskusiikan dengannya soal belum pun* hamiilnya kamu. Kalian berdua barangkali* harus merundiingkan* hal tersebut. Mungkin sekarangllah waktunya guna* datang ke dokter ahli.”

“Wow, sekalli nasehat langsung komplit,” jawab Erina dengan tersenyum. Diia tampak* agak biimbang.

“Hei, anda* boleh mencarter* suamiku sebagai gantinya biila** yang jadi masalahmu ialah* Bob,” gurau Vita, mengupayakan* untuk menciptakan* adiknya tersenyum. Senyuman Erina semakin terkembang lebar ketika* tangannya bergerak membelai* perutnya.

“Masalah tersebut* mungkin telah* terpecahkan bila** memang yang bermasalah aadalah Bob. Minggu ini ialah* periiode masa sangat* suburku dan suamimu sudah mengerjakan* pekerjaannya dengan paling* baik ketika* mengisiku dengan spermanya.”

Alis Vita’s, dan pasti* saja aliisku, terangkat sebab* terkejut. Kami saling mamandang dan lantas* menoleh ke arah Erina. Akhiirnya kami bertiga melulu* mengusung* bahu.

“Itu issue untuk kellak* saja,” jawab Viita.

“Kalau memang jadi,” Eriina menambahkan.

“Beritahu kami bila** akhiirnya anda* memutuskan untuk mengampuni* Bob,” kataku, merubah topic pembiicaraan. “Akan mendarat* waktunya untuk* Bob dan aku guna* membicarakannya, tapi tersebut* persoalan beda* lagi. Dan andai* semuanya berlangsung* baiik dan antara anda* dan Bob ok, aku rasa aku hendak* meliihat Bob dan Vita melakukannya secara langsung. Aku yakiin tersebut* akan tampak* lebih hebat dari pada di dallam video.”

“Hanya sekitar* aku diberi peluang* dengan anda* lagi,” jawab Eriina menimpali aE~tantanganku. Diia lantas* menoleh kea rah Viita dan dengan tersenyum menambahkan, “Tentu saja dengan anda* juga.”

“Aku dapat* menggarransi bila** soal itu,” ballas Vita.

Erina memberri suatu* pelukan pada kami berdua sebellum diia pergi. Vita dan aku saling menatap dalam kebiisuan untuk sejumlah* saat.

“Nah, kiini* bagaimana?” Tanya Viita. Awalnya aku mellullu* mengusung* bahu, tapi lantas* kuhembuskan nafas. Aku sadar andai* kami berrdua memerlukan* sebuah aturan dasar dallam urusan* ini.

“Pertama, aku rasa anda* harus saliing setuju dan berjanji bahwa anda tiidak* akan saling bermain dengan orang beda* tanpa persetujuan di antara* dari kita. Tak terdapat* lagi affaiir,” jelasku dengan ringkas. Vita tampak tidak banyak* mallu dan mengangguk setuju.

“Kita me*sti tambahan* hati-hati terhadap anak-anak. Aku tidak ingiinkan* gaya hidup anda* yang baru ini membawa** sebuah dampak untuk* merreka semua,” Viita menambahkan.

“Setuju.”

“Kamu puny gagasan* yang beda* lagi?” Tanya Viita. Aku menyeringai.

“Ya, masih ada suatu* hukuman yang menunggumu.”

“Hukuman?” Tanya Viita, matanya berbiinar.

“Yeah, kini* aku tahu biila** kamu suka tidak banyak* kekerasan dan rasa sakiit, aku rasa anda* harus pulang* lagi ke kamar. Lagiipula anak anak tiidak terdapat* dan kiita melulu* berdua saja sekarang.”

“Apa yang anda* rencanakan?” Tanya Viita curiiga. Aku melullu* tersenyum lebar.


Kami habiskan sejumlah* jam beriikutnya dengan saliing memuaskan dan memanjakan satu sama lain. Tiidak seluruh* yang kami coba berllangsung* dengan baiik, namun* saat tersebut* tiidak berjalan cocok* harapan, kami melullu* tertawa dan kemudia mengupayakan* sesuatu yang lainnya lagi.

Untuk kesatu* kallinya Vita dan aku saling berbagi selluruh angan-angan* seksual dalam kehidupan dua pulluh tahun perkawinan kami. Kami sadar bila** tidak semua angan-angan* tersebut dapat* diwujudkan dalam satu mallam ini, namun* kami sudah mengerjakan* sebuah mulla* yang bagus.

Mentari pagi melulu* menunggu satu dan dua jam guna* terbiit ketiika* akhirnya kami merasa terlampau* lellah untuk mengupayakan* sesuatu yang beda* llagi, namun* kami berdua bellum merrasa mengantuk juga. Sekalli lagi kami mandi lagi dan mellangkah mengarah ke* ke kamar tamu. Kamar ini mempunyai* pemandangan yang estetiis* saat mentari kelluar* dan pun* seprrei yang bersiih dan segar.

Kami berdua berbariing dan mengobrol* seakan tellah* tak saling biicara sekitar* bertahun-tahun. Aku bahkan tak begiitu yakiin apa yang sedang kami diskusiikan, namun* pada kesudahannya* aku merasa lebiih dekat dengan isteriku melebiihi sebelumnya. Manteri terbiit mengirimkan* kami berdua nyenyak* dalam miimpi estetis* dengan saling memelluk.

Tidak ada komentar

Cari Blog Ini

Gambar tema oleh Jason Morrow. Diberdayakan oleh Blogger.